Potret Narsisme Awam dan Fenomena Matinya Kepakaran Lewat Film Tilik

Mario Muhammad H
6 min readJan 21, 2021

--

Sumber gambar : https://www.kompas.com/tren/read/2020/08/22/153000465/jadi-trending-di-twitter-berikut-5-fakta-seputar-film-tilik?page=all

Beberapa bulan yang lalu, sebuah rumah produksi bernama Ravacana Films, merilis salah satu karya berformat short movie dengan judul Tilik di channel Youtube milik mereka. Tak disangka, antusiasme para netizen untuk menonton Tilik begitu tinggi. Film pendek tersebut telah ditonton sekitar 1,3 juta viewers. Padahal belum genap 48 jam Tilik ditayangkan. Begitu pula dengan ramainya beragam cuitan dan komentar banyak orang di jagad dunia maya turut mengangkat pamor Tilik. Namun, kita semua sepakat bahwa Tilik merupakan salah satu karya anak bangsa yang patut untuk ditonton.

Saya merupakan salah satu penggemar film-film pendek Indonesia. Sebagai orang yang tidak terlalu betah untuk berlama-lama menonton sinema selain di bioskop, film pendek menjadi format yang cocok untuk saya ikuti. Hanya dengan rata-rata durasi antara 20 hingga 40 menit, saya sudah mampu memahami keseluruhan isi cerita yang disajikan.

Batas waktu yang sempit ini pulalah yang membuat saya kagum kepada para pembuat film-film pendek. Mereka bisa mengeskplorasi cerita dengan penokohan yang kuat, alur yang sederhana namun berkesan, mengangkat sudut pandang yang kerap terlewat hingga penyampaian makna yang menyentuh dalam waktu singkat.

Tilik mengisahkan segerombolan ibu-ibu dari suatu perkampungan di sudut Yogyakarta yang ingin menjenguk Bu Lurah di rumah sakit. Kabar mendadak bahwa Bu Lurah sakit dan harus dirujuk ke rumah sakit diterima oleh Yu Ning, salah satu bagian dari ibu-ibu di kampung tersebut. Berita itu diterima Yu Ning via telepon dari Dian, sosok perempuan yang disinyalir sedang dekat dengan Fikri, anak Bu Lurah.

Kebiasaan lama warga kampung yang guyub rukun dan peduli terhadap para tetangga, membawa ibu-ibu ini beramai-ramai menyewa truk bak terbuka dengan satu tujuan mulia, tilik (menjenguk) Bu Lurah.

Konflik bermula ketika di tengah perjalanan, Yu Sam, membuka percakapan membahas tentang sosok Dian. Bak gayung bersambut, Bu Tedjo dengan skill ghibah kelas wahid membawa suasana di dalam bak truk semakin assoy. Bermodal mimik dan gaya bicara yang khas emak-emak julid, dilengkapi dengan mulut panas layaknya api neraka, membuat Bu Tedjo menjadi pusat perhatian sekaligus idola kita semua.

Bu Tedjo tentu tak sendirian. Sosok Yu Tri yang berperan sebagai asisten ghibah, selalu sukses menyuplai umpan lambung nan akurat yang membuat Bu Tedjo makin beringas. Dari membicarakan Dian sebagai perempuan nakal, hamil di luar nikah, simpanan om-om sampai menuduhnya memakai susuk semakin membuktikan bahwa Bu Tedjo ada di level yang berbeda dalam dunia pergosipan.

Yu Ning yang sepertinya sangat mengedepankan sikap prasangka baik terhadap sesama menjadi lawan yang tangguh bagi Bu Tedjo. Yu Ning terus-menerus mencoba menepis semua tudingan Bu Tedjo yang jelas tanpa dasar. Mereka terlibat adu mulut sepanjang perjalanan hingga tiba di rumah sakit.

Bu Tedjo adalah representasi sebagian dari kita sebagai warga negara yang hidup di Indonesia. Kebebasan berbicara menjadi syarat yang tak terbantahkan dalam prinsip kehidupan berdemokrasi. Masalahnya, hal ini dapat menjadi pedang bermata dua apabila kita tidak siap menggunakan kebebasan tersebut.

Terlebih dengan adanya bantuan internet yang dibungkus dalam berbagai aplikasi media sosial. Setiap orang memiliki kesempatan dan kekuatan yang sama untuk melontarkan opini pribadinya ke hadapan publik.

Ibarat, kebebasan berpendapat adalah pisau dapur, maka pendidikan adalah buku panduan berisi tata cara pemakaiannya. Namun, dunia pendidikan kita di Indonesia, baik sektor formal maupun informal belum banyak menjadikan tata cara berpendapat, terutama melalui media sosial sebagai sebuah perangkat dalam pembelajaran.

Artinya, manusia kini sedang menghadapi bahaya tak kasat mata dengan membawa pisau dapurnya masing-masing. Bagi orang yang memiliki wawasan, pisau dapur akan digunakkan sebagai alat bantu memasak atau memotong kue. Tetapi, bagi orang awam yang tidak tahu-menahu, pisau dapur bisa jadi digunakkan untuk menusuk teman ataupun membunuh dirinya sendiri.

Mengingat dalam demokrasi setiap orang adalah setara, terlepas dari apapun profesi dan keahliannya. Seperti yang pernah disinggung oleh Budiman Sudjatmiko bahwa demokrasi adalah sebuah sistem yang etis tetapi tidak realistis. Satu orang dalam negara demokrasi memiliki satu suara yang kekuatannya setara secara perhitungan kuantitatif walaupun tidak secara kualitatif.

Suara seorang siswa SMA yang belum memiliki banyak keahlian maupun pengetahuan setara dengan seorang professor yang merupakan lulusan S3 dan merupakan seorang pakar dalam bidang ekonomi.

Apabila kebijaksanaan dalam mengutarakan berpendapat di media sosial tidak dibentuk sejak dini, maka efek negatifnya akan segera dirasakan. Hoax, berita bohong, fitnah atau ujaran kebencian yang diakibatkan bias konfirmasi merebak di sana-sini. Ironisnya, terkadang kita tidak tahu apabila sedang menyebarkan berita yang tidak benar. Bahkan, media sosial dan internet sangat berandil dalam membuat orang bodoh semakin populer.

Bu Tedjo adalah potret dari narsisme orang awam yang mendadak merasa pintar dan tahu segalanya berkat internet. Bermodalkan sumber berita percakapan di Facebook dan kabar yang berseliweran di search engine seperti Google dan Yahoo, Bu Tedjo dengan percaya diri menyampaikan desas-desus tak pasti bahkan mengklaimnya sebagai sebuah kebenaran tunggal. Sepertinya memang sulit untuk menahan diri agar tidak asal bicara dan mengakui ketidaktahuan.

Lebih parahnya lagi, ada jutaan Bu Tedjo di dunia maya bahkan menggunakan akun palsu, bersembunyi dari balik layar untuk mengajak berdebat dan sengaja menyerang para pakar yang mencoba memberi pencerdasan sesuai keilmuannya.

Kita yang seharusnya menjadikan pakar dan ahli di suatu bidang sebagai salah satu rujukan utama untuk mengambil sikap dalam menghadapi permasalahan, justru tercerai-berai dikaburkan oleh banyak orang bodoh tetapi sok tahu.

Keadaan ini bisa semakin parah apabila pakar mengambil posisi yang berjarak, merasa eksklusif dan mengasingkan diri untuk turut mencerdaskan masyarakat dengan keahliannya yang relevan.

Perdebatan melelahkan disponsori oleh internet yang memberikan panggung antara pakar dan orang awam untuk bertemu dan saling melempar argumen secara terbuka setiap saat. Fenomena yang jarang sekali terjadi sebelum teknologi internet muncul. Serangan terhadap kepakaran menjadi gencar akibat internet, perbincangan tanpa aturan bermunculan terus-menerus dan orang semakin menolak untuk mengakui ketidaktahuannya bahkan ketika fakta dan data telah dibeberkan untuk memberi fokusan pada permasalahan.

Padahal, argumentasi yang disertai prinsip dan data adalah tanda kesehatan intelektual dan itu sangat penting terhadap kelangsungan demokrasi. Debat publik mengenai semua hal berubah menjadi perang parit yang tujuan utamanya adalah untuk membuktikan pihak lawan berpendapat salah. Keadaan ini menambah keyakinan saya bahwa ini bukanlah masalah ketidakpercayaan atau keraguan semata. Ini adalah narsisme yang digabungkan dengan penghinaan terhadap kepakaran sebagai bentuk praktek aktualisasi diri yang mengutamakan ego tinggi.

Sayangnya, di atas bak truk, baik Bu Tedjo, Yu Sam, Yu Ning, Yu Tri dan ibu-ibu yang lain adalah orang awam. Tidak ada pakar di sana yang betul-betul mengetahui duduk perkara tentang Dian. Perbedaan mereka hanya terletak pada kemampuan untuk menahan diri agar tidak berbicara selagi kabar masih bersifat simpang-siur.

Apabila boleh menambah satu adegan, saya akan mendatangkan keluarga yang masih satu rumah dengan Dian ke tengah kerumunan ibu-ibu itu. Dialah sang pakar yang akan menjelaskan serta memberi klarifikasi tentang Dian sekaligus membeberkan data dan fakta yang menampik semua tuduhan Bu Tedjo.

Apakah Bu Tedjo akan terdiam lalu mengakui bahwa dirinya salah serta berjanji untuk berhenti menyebarkan gosip? Tentu tidak ! Bu Tedjo yang seperti itu hanyalah ada di dunia fantasi. Justru ia akan semakin ganas melancarkan jurus-jurus maut lainnya untuk menghantam sang pakar. Bu Tedjo adalah kita yang lebih galak ketika ditagih hutang dan lebih ngegas ketika salah. Tentu, kita tidak mau terlihat bodoh di depan orang banyak. Narsisme orang-orang awam terus dipupuk karena kita semua ingin dianggap serius dan dihormati.

Agar tidak dianggap bodoh, walaupun tidak tahu apa-apa, kita memilih jalan pintas dengan berpura-pura pintar. Lama-kelamaan kita semakin percaya diri bahwa kita sepintar ilusi itu. Dua orang peneliti psikologi Cornell University, David Dunning dan Justin Krugger menangkap fenomena menarik tersebut. Mereka menyimpulkan bahwasanya, semakin rendah tingkat kompetensi seseorang, justru mereka akan semakin yakin dirinya sangatlah kompeten. Argumen itulah yang menjadi dasar teori “Efek Dunning-Krugger”.

Selain itu, Yu Ning adalah sebagian dari kita yang awalnya memilih diam ketika gosip bertebaran keluar dari mulut Bu Tedjo. Diam dapat berarti banyak, bisa jadi emas, bisa jadi perak atau bahkan rongsokan belaka. Terlebih, ketika kita tahu ternyata Yu Ning masih merupakan kerabat dari Dian.

Kita boleh mengartikan mosi tidak percaya Yu Ning terhadap setiap perkataan Bu Tedjo sebagai wujud pembelaannya terhadap sanak-saudara, tetapi di sisi lain Yu Ning memberikan keteladanan untuk disiplin menyaring informasi dan selalu melakukan validasi berita sebelum menyebarkannya.

Bukan saja dengan meneruskan berita bohong, lebih dari itu, membaca sekilas pada halaman judul dan paragraf pembuka secara horizontal kemudian memberikan kesimpulan prematur seakan telah memahami keseluruhan informasi merupakan tindakan yang sama berbahayanya.

Ironisnya, hal ini sering kita lakukan, terutana untuk artikel yang cukup panjang atau rata-rata membutuhkan waktu di atas tiga menit untuk membacanya.

Sikap ilmiah untuk berpikir kritis, analitis dan melakukan validasi terhadap sumber data menjadi penting dan genting. Jika tidak segera berbenah, maka tidak mungkin beberapa tahun ke depan fenomena matinya kepakaran akan berbuntut panjang dan bermuara pada satu titik, yaitu matinya demokrasi.

--

--

Mario Muhammad H
Mario Muhammad H

No responses yet